Selasa, 27 Mei 2008

Mulla Sadra

Tanpa keraguan bahwa Mulla Sadrā penggagas aliran baru dalam filsafat Islam yang berbeda sama sekali dengan dua aliran filsafat sebelumnya ; Masyāiyyīn ( Peripatetik ) dan Isyrāqiyyīn ( Illuminasi ). Hal ini tercermin dari bangunan filsafat Mulla Sadrā yang dikenal dengan sebutan al-Hikmah al-Muta’āliyyah yang menghimpun kedua aliran tersebut dan melakukan sintesa serta penyempurnaan-penyempurnaan pada banyak bagian dari pandangan filsafat Peripatetik maupun Iluminasi.
Bahkan Abu Abdillah Zanjani menyebutkan bahwa Mulla Sadrā telah menghidupkan kembali pemikiran filsafat sebelumnya yang telah mati baik karena serangan-serangan al-Ghazāli terhadap filsafat maupun karena penghancuran peradaban Islam oleh kaum Mongol dan Turki. Secara lebih rinci ia jelaskan :
“Mulla Sadrā telah menghidupkan kembali dan memulai kehidupan baru dari timbunan tanah kematian aliran filsafat Ibn Sinā ( karena serangan al-Ghazāli, pengikut Asy’ari dan kaum Hanbali juga serbuan tentara-tentara Mongol dan Turki yang telah menghancurkan ilmu pengetahuan dan pemikirian ). Langkah dan semangat tersebut kembali kepadanya (Mulla Sadrā). Kagungan filsafat kembali bergema dengan hadirnya filosof besar pasca Ibn Sinā yang harapan berada dipundaknya dan sampai sekarang menjadi guru besar dan terhitung sebagai pendiri aliran baru dalam filsafat” [1].
Ada juga yang beranggapan bahwa Mulla Sadrā hanya sekedar melakukan tambal sulam dari filsafat Ibn Sina, tapi pernyataan seperti ini jelas tidak benar. Jika seseorang melihat secara mendalam pemikiran filsafat Mulla Sadrā dia akan segera menemukan perbedaan yang tegas antara aliran Peripatetik dengan al-Hikmah al-Muta’āliyyah . Meskipun Mulla Sadrā tetap menggunakan istilah dan topik-topik yang sama dalam pembahasan filsafatnya tetapi pandangan maupun argumentasi serta bentuk pemahaman terhadap topik itu jelas berbeda.
Didalam bangunan Filsafat al-Hikmah al-Muta’āliyyah secara jelas tergambar aliran-aliran pemikiran sebelumnya seperti Filsafat, Gnostik, Teologi tetapi sama sekali Mulla Sadrā tidak terjebak sebagaimana dugaan sebagian pemikir bahwa Mulla Sadrā melakukan sinkretisasi, tetapi yang dilakukan Mulla Sadrā adalah harmonisasi semua elemen tersebut sehingga membentuk warna baru yang masing-masing kesatuan saling terkait dan mendukung satu sama lain. Sebagaimana yang dinyatakannya sendiri : “Telah tergabung padanya ilmu-ilmu Ketuhanan (Teologi) pada filsafat analitis serta telah aku lapisi hakikat-hakikat penyaksian dengan penjelasan-penjelasan yang dapat dipelajari.” [2]
Al-Asfār memuat gambaran ini secara jelas dengan mengemukakan berbagai prinsip pandangan Iluminasi seperti Asālat al-Wujūd atau Cahaya dan Tasykīk al-Wujūd juga Harākat al-Jawhariyyāh yang merupakan tema bahasan filosof-filosof Iran qadim, serta Tajarrud al-Mitsāl, Ittihād al-‘Āqil wa al-Ma’qūl dan Basith al-Haqīqah Kulli Asyya’, yang merupakan tema-tema Gnostik, Plotinus maupun para Sufi. Semua hal tersebut, ditangan Mulla Sadrā mendapatkan penjelasan rasional-logis yang sama sekali bentuk seperti ini tidak ditemukan pada filosof sebelumnya.
Dua aliran utama filsafat sebelum Mulla Sadrā secara jelas saling beroposan satu sama lain. Peripatetik sebagai filsafat yang mendasarkan prinsipnya pada bentuk silogisme-Aristotelian yang sangat rasional, bahkan menurut Fayadi “Ibn Sinā tidak akan membicarakan sebuah persoalan yang tidak terbukti secara rasional”.[3] Dihadapannya, Suhrawardi dengan Mazhab Iluminasinya meyakini bahwa pengetahuan dan segala sesuatu yang terkait dengannya hanya bisa dicapai melalui proses Syuhūdi dan proses tersebut hanya bisa dicapai dengan melakukan upaya elaborasi ruhani.
Kita kemudian dapat menemukan posisi filsafat al-Hikmah al-Muta’āliyyah yang jelas-jelas memunculkan sebuah warna baru diantara aliran filsafat yang ada. Dalam pandangan Mulla Sadrā baik Akal maupun Syuhūd keduanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam filsafat dan meyakini bahwa Isyrāqi tanpa argumentasi rasional tidaklah memiliki nilai apapun, begitupun sebaliknya.
Melakukan suluk ruhani untuk mencapai ma’rifat dan pencerahan batin bukanlah pekerjaan yang dapat dilakukan setiap orang, karena di perlukan seorang guru yang mampu membimbing salik untuk melewati tahap-tahap perjalanan ruhani dan disitu juga terkandung upaya-upaya Setan yang selalu berusaha menjerumuskan para penempuh jalan ruhani tersebut. Tetapi tanpa ma’rifat dan pencerahan batin tidak mungkin seseorang akan dapat mencapai puncak kesempurnaan dirinya. Dengan argumentasi-argumentasi rasional Mulla Sadrā telah memberikan pelita bimbingan bagi para ilmuwan dan intelektual untuk dapat menempuh jalan ruhani dalam upaya ma’rifat dan pencerahan batin. Inilah metoda al-Hikmah al-Muta’āliyyah yang dikembangkan Mulla Sadrā. Karenanya Mulla Sadrā dapat disebut sebagian merupakan filosof Peripatetik, sebagian disebut Filosof Iluminasi bahkan Plotinusnya Islam, karenanya Henry Corbin secara khusus dalam hal ini memberikan komentar :
“Jika Dia dikenal sebagai filosof beraliran Ibn Sinā, harus juga ditambahkan bahwa dia juga Filosof Isyrāqi dan pada saat yang sama merupakan penggambaran dari pemikiran Ibn ‘Arabi. Mulla Sadrā merupakan salah satu yang terpenting dari pemikir Plotinus dari Iran Islami dan juga seorang pemikir Syi’ah…” [4]
Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa bagi Mulla Sadrā kebenaran mistis yang diperoleh berdasarkan perjalanan ruhani merupakan kebenaran intelektual itu sendiri dan pengalaman-pengalaman mistis yang diperoleh merupakan pengalaman kognitif yang dihasilkan dari proses berfikir, hanya menurut Sadrā yang dibutuhkan adalah upaya ilmiah yang dapat menjadi bukti logis bagi hal tersebut.
Mulla Sadrā beranggapan bahwa Musyāhadah yang dihasilkan melalui proses Mukāsyafah jika merupakan sebuah kebenaran Ilahi dan Hakiki maka pastilah rasional dan akal akan dapat membuktikannya. Mulla Sadrā menyadari bahwa pada umumnya kaum Sufi dan Gnostik seringkali mengabaikan argumentasi rasional dalam menegakkan ajarannya, semisal Ibn ‘Arabi yang menggunakan metodologi analogi dan imaji dalam penyampaian ajaran-ajarannya. Yang demikian tersebut bagi Mulla Sadrā tidak dapat menjadi hujjah bagi semua orang. [5]
Bahkan pada bagian lain secara tegas Mulla Sadrā menetapkan pola filsafatnya yang berbeda dari pemikiran lainnya sekaligus kritiknya[6] terhadap sebagian Sufi : “Dan dia (al-Hikmah al-Muta’āliyyah ) bukan merupakan perdebatan Teologis, bukan filsafat rasional semata dan juga bukan hasil khayalan-khayalan kaum sufi” [7]
Dalam filsafat Mulla Sadrā kita juga menemukan warna diskursus Teologis, akan tetapi seperti pernyataannya diatas filsafatnya bukanlah Teologi. Mulla Sadrā memang sejak muda telah menguasai Teologi (Ilmu Kalam) secara sangat mendalam baik pada fase pelajarannya di Syirāz, Qazwin ataupun Isfahan dia selalu bersentuhan dengan Teologi sehingga pada usia sangat muda, Mulla Sadrā sudah menguasai Teologi secara matang. Beberapa kitabnya yang ditulis pada fase-fase belajarnya merangkum kritik-kritik tajamnya kepada Mu’tazilah yang menyandarkan sepenuhnya pada akal sehingga cenderung mengabaikan nash-nash Syari’at dan Asy’ari yang cenderung mengabaikan akal dan hanya menganggap bahwa semata kebenaran hanyalah syari’at. Bagi Mulla Sadrā keduanya berada pada dua titik ekstrim yang sama bahayanya.
Diskursus Teologis pada intinya juga berkaitan dengan topik-topik filosofis, karenanya, Mulla Sadrā memberikan analisa kritis dan argumentasi-argumentasi rasional dalam persoalan tersebut namun tidak terjebak menjadikan Filsafat sebagai Teologi. Mulla Sadrā tetap dengan plat form filsafat dalam menanggapi diskursus tersebut, ia menggunakan caranya sendiri yang khas sebagaimana yang juga dilakukan sebelumnya oleh Khwaja Nasiruddin Tusi, sehingga memberikan senjata baru untuk membela ajaran-ajaran Islam. Kalau Khwaja Nasiruddin Tusi merubah Teologi menjadi Filsafat, Mulla Sadrā menjadikan filsafat sebagaimana layaknya Teologi tapi tentu Teologi baru, dalam pengertian bentuk, pola dan cara yang digunakan didasarkan pada aliran filsafat peripatetik dan Iluminasi akan tetapi persoalan yang di bahas justru persoalan Teologi.
Teologi sebagai satu cabang ilmu yang berusaha mempertahankan agama dan keyakinan dari serangan-serangan yang datang dari luar dengan menggunakan nash-nash dan sedikit argumentasi rasional tetapi di tangan Mulla Sadrā meskipun tetap menjadikan nash-nash tersebut sebagai inspirasi utama namun argumentasi-argumentasi rasional-filosofis menjadi penyangga utama keyakinan-keyakinan tersebut, sehingga bagi seorang atheispun sulit untuk dapat membantah keyakinan Teologis tersebut.
Akal dan Wahyu ketika masih berada dalam wacana Asy’arian dan Mu’tazilah menjadi dua hal yang selalu beroposan, pada al-Hikmah al-Muta’āliyyah menjadi sekeping mata uang yang hanya berbeda sisinya. Argumentasi-argumentasi filosofis Mulla Sadrā menjangkau nash-nash tersebut dan memberikannya dalil-dalil rasional. Mulla Sadrā membuktikan bahwa wahyu dan hakikat yang diajarkan para Nabi bukan hanya dapat dibuktikan secara rasional akan tetapi keduanya sama sekali tidak memilki pertentangan sedikitpun. Wahyu dan Akal merupakan sebuah kesatuan dari gambaran kemanunggalan Wujud Tuhan.
Mulla Sadrā memandang akal dalam dua hal penting ; pertama, Seluruh asal dari kebenaran wahyu dan kenabian serta agama berasal dari akal dan merupakan jembatan untuk sampai pada syariat. Kedua, akal manusia meskipun derajatnya lebih rendah dari wahyu dan agama dalam membimbing manusia akan tetapi kejelasannya dan benderangnya tidak kurang dari wahyu. Meskipun demikian tidak sedikitpun terjadi pertentangan antara akal dan wahyu. Akal yang sehat dengan Wahyu yang benar dalam pandangan Mulla Sadrā, keduanya adalah satu warna. [8]
Bagi Mulla Sadrā akal dan wahyu merupakan hal yang satu dan berasal dari tempat yang satu yaitu Ruh Kesucian (Ruh al-Quds) atau Intelek Aktif (Aql Fa’āl) dan bagi Mulla Sadrā tidak terbayangkan diantara kedua hal tersebut terjadi pertentangan. Karenanya Akal berfungsi sebagai penopang rasional bagi penyaksian ruhaniah (Musyāhādah) dan penyaksian ruhaniah merupakan puncak tertinggi dari upaya menyerap pengetahuan.
Berdasarkan prinsip-prinsip yang telah dikemukakan Mulla Sadrā mengambil tiga sumber mendasar dan melakukan harmonisasi diantara ketiga hal tersebut dan menjadikan warna filsafat tersendiri yang jauh lebih sempurna dari pemikiran yang berkembang sebelumnya. Karenanya ada banyak tokoh yang memandang Mulla Sadrā sebagai Filosof Peripatetik, Teosof Iluminasi sekaligus Teolog Islami.
[1] Abu Abdillah Zanjani sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Khamne’i, Muqaddimah., hal. Dua ratus Tujuh puluh Dua. Teks asli sebagai berikut :

ملا صدرا در خاكستر مكتب مرده ابن سينا- كه بر اثر حملات نارواى غزالى وييروان اشعرى مسلكـــ وحنبلى مآب او و همجنين بدنبال حملات ويرانكر علم وانديشه تركان ومغولان بيجان شده بود-روحى تازه دميد وجوانى رابه وى بازكر دانيد. شيفتكان فلسفه به اين فيلسوف بزركـــ وامدارند وحقا يس از ابن سينا تا بامروز معلم بزركـــ و بنيانكذار فلسفه وصاحب مكتب بشمار مىرود".

[2] Mulla Sadra, Syarh al-Ushul.,hal.9 Teks asli sebagai berikut :

"قد اندمـجت فيه العلوم التألهية في الحكمة البحثية وتدرعت فيه الحقائق الكشفية بالبيانات التعليمية".
[3] Fayadi, “Falsafeye Masya’ dar Hikmat Muta’’Aliyeh”, Majeleye Ma’rifat, XII, 3 (Bahman (bulan Iran), 1997), hal. 65
[4] Henry Corbin, sebagaiamana yang dikutip Muhammad Khamne’i, Muqaddimah, hal. Dua ratus tujuh puluh tujuh.
[5] Lihat : Mulla Sadra, al-Hikmah al-Muta’āliyyah fi al-Asfar al-Arba’ah ., J. 9 hal. 234 (Selanjutnya disebut : al-Asfar)

[6] Meskipun Mulla Sadra kerap melakukan kritik yang tajam pada kaum sufi, tetapi sufi yang dimaksud adalah sufi-sufi yang hanya menunjukkan bentuk-bentuk ritual (Pseudo-Sufistik), karena dalam memandang Ibn Arabi, Mulla Sadra begitu kagum dan sama sek’Ali tidak didapati kritik langsung kepada Ibn Arabi, bahkan berdasarkan beberapa penggalan-penggalan pernyataannya di dalam kitab Asfar ditemukan bahwa Mulla Sadra meyakini konsep Wahdat al-Wujūd Ibn Arabi. Untuk lebih jelas lihat al-Asfār J. 2,3 dan 7.
[7] Mulla Sadra, al-Masya’ir, (Tehran : Amir Kabir). 1376, hal.3 Teks asli sebagai berikut :

"وهي ليست من المجادلات الكلامية ولا من الفلسفة البحثية المذمومة ولا من التخيلات الصوفية"

[8] Lihat : Mulla Sadra, Muqaddimah., hal. Dua ratus Delapan puluh Satu.

Kamis, 15 Mei 2008

Abstrak & Resume Disertasi


ABSTRAK
Pandangan Eskatologi Mulla Sadra


ImageDisertasi ini berusaha mengungkapkan gagasan-gagasan Mulla Sadra dalam persoalan eskatologi dengan prinsip-prinsip yang membangun gagasan tersebut dan upayanya dalam menyelesaikan persoalan-persoalan eskatologi yang telah menyebabkan konflik yang dalam antara filosof dan teolog. Usaha ini dilakukan dengan mengkaji sumber utama dari Mulla Sadra, yaitu karyanya al-Hikmah al-Muta’aliyyah fi al-Asfar al-Aqliyyah al-arba’ah.

Pada akhirnya kajian ini menyimpulkan bahwa pandangan eskatologi yang digagas Mulla Sadra adalah pandangan eskatologi yang didasari argumentasi rasional dan berkesesuaian dengan doktrin teologis dan hasil intuitif irfani, sehingga pandangan eskatologi yang di gagas Mulla Sadra mampu memberikan solusi bagi persoalan-persoalan eskatologi yang terjadi.

Apa yang dihasilkan melalui disertasi ini membantah pandangan : 1. Sibawaihi yang menyatakan : “Kuatnya patri bangunan pemikiran eskatologi ini dalam lingkungan Islam, tampaknya, dalam asumsi penulis, memiliki akar dan hubungan langsung dengan sosok besar al-Ghazali. Yakni, pada Abad Pertengahan, ketika terjadi kontroversi pemikiran antara para filsuf (falasifah) dan para teolog (mutakallimun), tokoh ini muncul, lalu meruntuhkan konsepsi-konsepsi eskatologi terutama konsepsi para filsuf” (Eskatologi Al-Ghazali dan Fazlur Rahman, Yogyakarta, 2004, hal.13), 2. Jane Idelman Smith and YVone Yazbeck Haddad yang menyatakan bahwa “Kajian eskatologi setelah al-Ghazali hanya bersifat literal” ( Jane Idelman Smith and YVone Yazbeck Haddad, The Islamic Understanding of Death and Resurrection, English : Oxford University Press, 2002 hal. 62) 3. Fazlur Rahman : “…walaupun pada akhirnya ia (Mulla Sadra) memberikan solusinya sendiri yang secara identik, atau nyaris, sama dengan salah satu alternatif-alternatif tersebut. Misalnya, ketika ia menolak, dalam pembahasan tentang eskatologi, solusi-solusi al-Ghazali. Padahal, solusinya sendiri nyaris tidak dapat dibedakan dari solusi yang ditawarkan al-Ghazali tentang kebangkitan jasmani sebagai tatanan badan-citra” (The Philosophy of Mulla Shadra, New York, State University of New York, Albany, 1975. p. 11)

RESUME
Pandangan Eskatologi Mulla Sadra

Kekeliruan utama pandangan pemikir muslim modern yang beranggapan bahwa kajian eskatologi merupakan kajian yang telah baku dan berakhir di tangan tokoh besar Muhammad al-Ghazali (450-505 H) adalah kekeliruan yang telah memberikan efek hilangnya kajian serius di dunia modern tentang metafisika akhirat.

Secara umum di abad pertengahan, kajian eskatologi terintegrasi di dalam filsafat, sebagai bagian dari upaya para filosof muslim untuk membuktikan keberlangsungan eksistensi jiwa pasca kematian dan upaya pembuktian secara filosofis tentang keberadaan kehidupan akhirat. Sumbangan besar yang diberikan para filosof muslim tersebut bukan hanya terbatas pada wilayah keyakinan keberagamaan akan tetapi pada pengetahuan yang lebih mendalam berkaitan dengan substansi jiwa. Ibn Sina (370-428 H) yang merupakan tokoh pendiri madrasah filsafat Peripatetik (Masyaiyyah) maupun Syaykh Isyraq (549-587 H) tokoh utama pendiri filsafat Iluminasi (Isyraqiyyah), telah mencurahkan perhatian serius dalam bidang ini sehingga melahirkan pandangan-pandangan mendalam berkaitan dengan keadaan jiwa pasca kematian.

Anggapan akan kebakuan kajian eskatologi dan memasukkan eskatologi hanya pada wilayah sempit teologi adalah sebuah reduksi terhadap salah satu di antara warisan ilmiah yang spekulatif. Sedikitnya sumbangan pemikir muslim modern terhadap psikologi modern yang cenderung materialistis adalah karena rendahnya kajian ilmiah di dunia islam berkaitan dengan persoalan jiwa dan keabadian jiwa pasca kehancuran raga.

Di dunia modern menurut Mulyadhi Kartanegara jiwa masih berada hanya pada tataran neurologis. Bahkan Mulyadhi memberikan kritik dengan menyebut psikologi modern sebagai “brain based psychology” bahwa menurutnya jika jiwa tidak lebih sebagai bagian neurologis dan suatu saat otak manusia tersebut mengalami kehancuran maka tidak akan ada bagian yang survive dari kehidupan manusia tersebut.

Pandangan psikologi modern yang seperti ini bertentangan sekali dengan apa yang ditawarkan agama bagi kehidupan manusia. Agama tidak hanya sebuah rangkaian peribadatan akan tetapi pandangan dan keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada dalam bentuk material juga memiliki dimensi ruhaniah, bahkan dimensi ruhaniah inilah yang paling dominan dan hakiki mempengaruhi realitas material.

Agama memberikan keyakinan kepada manusia bahwa keselamatan kehidupan manusia dalam tahap jangka panjang hanya terjadi jika manusia memiliki kesadaran terhadap kehidupan ruhaninya dan mengolah alam semesta dalam upaya untuk meningkatkan kualitas ruhaniah bukan mengekploitasi semesta hanya untuk kepentingan material sesaat.

Kesadaran seperti ini hanya akan dapat di apresiasi sekiranya kajian eskatologi yang jauh lebih luas dari pemaknaan terhadap doktrin-doktrin agama yang bersifat literal dapat dihidupkan kembali sehingga dapat memberikan sumbangan mendasar pada pandangan psikologi modern.

Eskatologi berasal dari kata Escaton yang secara harfiah dimaknai doktrin tentang akhir, sebuah doktrin yang membahas tentang keyakinan yang berhubungan dengan kejadian-kejadian akhir hidup manusia, seperti ; kematian, hari kiamat, berakhirnya dunia, kebangkitan kembali, pangadilan akhir, surga-neraka dan lain sebagainya. Karenanya di dalam membicarakan persoalan eskatologi, persoalan mendasar yang juga menjadi pembicaraan adalah keberadaan Ruh atau Jiwa pada diri manusia dan bagaimana Ruh atau Jiwa dapat terus ada selama kematian terjadi. Hal ini merupakan doktrin prinsip pada semua agama yang sama sekali tidak disentuh pada psikologi dunia modern.

Dalam istilah Islam Eskatologi dikenal dengan sebutan Ma’ad, secara khusus al-Taftazani memaknai Ma’ad sebagai berikut :

“Merupakan sumber atau tempat, dan hakikat kebangkitan adalah kembalinya sesuatu kepada apa yang ada sebelumnya dan yang dimaksud ini adalah kembalinya keberadaan setelah kehancuran, atau kembalinya bagian-bagian tubuh kepada penyatuan setelah keterpisahan, kepada kehidupan setelah kematian, ruh kepada tubuh setelah terpisah, sedangkan kebangkitan ruhani murni sebagaimana pandangan para filosof bermakna kembalinya ruh kepada asalnya yang nonmaterial dari keterikatan dengan tubuh material dan penggunaan alat-alat fisik atau keterlepasan terhadap kegelapan yang menyelimutinya .

Al-Qur’an sebagai sumber utama Islam menegaskan prinsip keyakinan ini sebagai berikut :

“Wahai manusia, jika kamu merasa ragu tentang kebangkitan, ketahuilah bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna dan yang belum sempurna bentuknya, agar Kami menjelaskan hal itu pada kamu. Kami jadikan dalam rahim yang Kami inginkan dalam kurun waktu yang sudah ditentukan, lantas Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (menopang kamu) sampai kamu mencapai kedewasaan. Dan diantara kamu ada yang diwafatkan dan adapula yang diberi umur panjang sampai pikun, agar ia tidak lagi mengetahui apa yang diketahuinya dulu. Dan kamu lihat bumi ini kerontang, kemudian tatkala Kami turunkan air di atasnya maka hiduplah bumi ini dan tumbuh suburlah beraneka tumbuhan yang indah. Yang demikian itu disebabkan Allah Maha Benar (al-Haqq). Dialah yang menghidupkan segala yang mati. Dialah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Sesungguhnya hari kiamat pasti datang –tak ada keraguan padanya- ketika Tuhan akan membangkitkan semua orang di dalam kubur “

Prinsip eskatologi menjadi satu bagian dari prinsip keimanan di dalam Islam, tanpa keyakinan tentang prinsip ini maka batallah keimanan seseorang terhadap Islam, namun demikian prinsip ini menjadi sebuah diskursus yang sangat panjang di dalam Islam bukan berkaitan terhadap dasar keberadaannya akan tetapi berkaitan dengan pembuktian filosofis terhadap pandangan eskatologi ini serta bagaimana bentuk kehidupan yang akan muncul pasca kematian tersebut.

Diskursus tentang pandangan ini terjadi terutama pada dua wilayah kajian ilmiah islam, Ilmu Kalam dan Filsafat . Dalam Ilmu Kalam pembicaraan pada umumnya berkisar pada argumentasi tentang kebangkitan, Kematian, Barzakh, Surga-Neraka, Kebahagiaan dan penderitaan, Keabadian di akhirat, Kebangkitan jasmani dan Syafaat. Sedangkan pada filsafat, pembicaraan tentang kebangkitan meliputi ruang yang lebih luas, bukan hanya dalam persoalan yang telah disebutkan di atas, akan tetapi juga meliputi masalah ruh, jiwa dan jasmani, bentuk keterikatan antara ruh, jiwa dan jasmani, kemustahilan kebangkitan setelah ketiadaan (I’adah al-Ma’dum) dan sebagainya.

Filsafat dan Kalam menjadi dua khazanah Islam yang cukup signifikan dalam menopang peradaban Islam, tidak jarang argumentasi filosofis digunakan Kalam dalam upaya membuktikan kebenaran doktrin-doktrin Islam, tidak jarang pula Filsafat khususnya Filsafat Islam mendapatkan inspirasi dari ilmu Kalam dalam menjawab persoalan filsafat. Akan tetapi kedua cabang ilmu ini seringkali melahirkan dua kebenaran yang berbeda, dan tentu saja pada akhirnya menimbulkan konflik. Para Teolog tentu beranggapan bahwa kebenaran yang bertentangan dengan doktrin-doktrin wahyu adalah kesesatan sedangkan Filosof beranggapan bahwa kebenaran yang tidak rasional perlu diinterpretasi ulang. Dua khazanah ilmiah yang berbeda ini pada satu masa mengalami benturan yang cukup dahsyat terutama dalam membicarakan persoalan eskatologi.

Puncak benturan tersebut terjadi ketika secara terbuka al-Ghazali menyerang keyakinan para filosof lewat bukunya Tahafut al-Falasifah dan Ibn Rusyd (520-595 H) menyerang balik serangan al-Ghazali ini dengan bukunya Tahafut al-Tahafut . Di antara persoalan mendasar yang menjadi pusat serangan al-Ghazali adalah persoalan keyakinan para filosof tentang kebangkitan ruhaniah, pandangan ini terutama berdasarkan pandangan Ibn Sina. Bagi al-Ghazali keyakinan yang seperti ini sangat bertentangan dengan prinsip al-Quran yang secara khusus menyebutkan bahwa kebangkitan manusia tidak hanya jiwa akan tetapi juga meliputi fisik. Pandangansi eskatologi para filosof ini menegasikan kekuasaan Tuhan, bukankah Tuhan itu Maha Kuasa atas segala sesuatu termasuk sekedar menampilkan kembali fisik yang telah hancur ataupun mewujudkan yang baru ?

Sejarah kemudian mencatat efek dari konflik ini yang cukup signifikan. Nurcholis Madjid menyatakan serangan al-Ghazali hampir sempurna sehingga orang takut berfilsafat dan khawatir dihukum kafir . Konflik tersebut kemudian memunculkan fatwa-fatwa ekstrem terhadap para filosof seperti yang dilakukan Ibn Salah. Paling tidak efek yang terasa kemudian, terciptanya jurang yang cukup dalam antara para Teolog dengan para Filosof disamping pengaruh Imam al-Ghazali yang semakin dominan di dunia Islam.

Namun demikian sekalipun serangan tehadap filsafat sangat luar biasa terjadi, pada sebagian wilayah Islam, filsafat terus hidup bahkan melahirkan tokoh-tokoh besar seperti Suhrawardi yang mendirikan aliran Filsafat Isyraqiyyah dan filsafat pada akhirnya melahirkan filosof besar yaitu Mulla Sadra yang mendirikan aliran filsafat al-Hikmah al-Muta’aliyyah.

Kebesaran dan keagungan filsafat al-Hikmah al-Muta’aliyyah terutama dalam keberhasilannya melakukan sintesis terhadap berbagai aliran pemikiran di dunia Islam yang sebelumnya seakan-akan memiliki paradigma tersendiri dan menghasilkan kebenarannya sendiri-sendiri. Paling tidak ada tiga aliran pemikiran yang berhasil disintesis Mulla Sadra antara lain ; Tasawuf, Teologi dan Filsafat.

Al-Hikmah al-Muta’aliyyah, magnum opus Mulla Sadra merupakan sintesis dari ketiga corak berfikir tersebut, yaitu : Teologi dengan karakter dialektikal-polemikal (Jaddali), filsafat dengan karakter demonstrative/burhani, theosopi Illuminastik dan gnostik dengan karakter zawqi ditambah dengan elemen naqli yang berasal dari al-Qur’an, hadist dan ucapan-ucapan Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Sebagaimana yang dinyatakan Hossein Nasr :

“Keluar biasaan Mulla Sadra adalah keberhasilannya melakukan sintesis dan penyatuan terhadap tiga arus kebenaran utama, antara lain, wahyu, demonstrasi rasional dan penyucian jiwa, yang membelokkan arah filsafat menuju illuminasi. Baginya gnostik, filsafat dan wahyu agama merupakan elemen harmonisasi yang keharmonisan tersebut bermuara pada pola hidup yang ditampilkannya sebaik tulisannya. Dia memformulasi sebuah perspektif dalam kerangka demonstrasi rasional filsafat sekalipun tidak terbatas pada filsafat yunani namun juga menjadi sangat erat kaitannya dengan al-Qur’an, hadis dan pernyataan para Imam, dan kesemuanya menyatu dalam doktrin gnostik sebagai hasil dari iluminasi yang diterima melalui penyucian diri. Karena itulah mengapa tulisan-tulisan Mulla Sadra merupakan kombinansi dari pernyataan-pernyataan logika, intuisi gnostik, hadist dan sunnah Nabi serta ayat-ayat al-Qur’an”

Sintesis atas ketiga aliran pemikiran ditambah dengan bimbingan hadist-hadist dari Ali bin Abi Talib di atas yang dilakukan Mulla Sadra telah melahirkan sebuah bangunan filsafat yang kokoh yang dinyatakan oleh para ahli tidak semata aksidental saja, melainkan metode alternatif, konseptual dan ontologis. Karenanya bagi sebagian pemikir filsafat, Mulla Sadra dianggap sebagai puncak evolusi pemikiran filsafat sebelumnya.
Tujuan utama filsafat bagi Mulla Sadra adalah upaya mencapai kesempurnaan hakiki manusia bukan hanya dalam konteks kehidupan sosial masyarakat, sebagaimana yang terjadi pada filsafat sebelumnya terutama pada filsafat Barat. Karena itu di dalam filsafatnya, Mulla Sadra menjelaskan secara spesifik pandangan theodesi dan eskatologi, sebagai sebuah bagian perjalanan ruhani yang harus dilewati oleh setiap manusia yang hendak menggapai kesempurnaan.

Al-Hikmah al-Muta’aliyyah sebagai madrasah filsafat yang dikembangkan Mulla Sadra di angkat dari kitab utamanya al-Hikmah al-Muta’aliyyah fi al-Asfar al-Aqliyyah al-Arba’ah (Puncak kearifan dalam empat tahap perjalanan intelek). Mulla Sadra menggambarkan bahwa manusia mencapai kearifan tertinggi haruslah melewati empat tahap perjalanan ruhani yang semuanya terangkum dalam rangkaian filsafat yang dikembangkannya. Empat tahap perjalanan tersebut antara lain :

1. Perjalanan pertama ; Safar min al-Khalq ila al-Haq (Perjalanan dari makhluk menuju Tuhan). Pada tingkat ini, perjalanan yang dilakukan adalah dengan mengangkat hijab kegelapan dan hijab cahaya yang membatasi antara seorang hamba dengan Tuhannya. Seorang salik harus melewati stasion-stasion, mulai dari stasion jiwa, stasion qalb, stasion ruh dan berakhir pada maqsad al-aqsa. Pada tahap ini perjalanan ruhani baru dimulai dari pelepasan diri dan bergabung menuju Tuhan. Dalam kajian filsafatnya, perjalanan pertama ini adalah gambaran dari upaya salik mengangkat kesadarannya dari realitas makhluk lewat pembahasan wujud dalam makna umum dan juga tentang hukum-hukum ketiadaan, entitas, gerakan material dan sustansial serta intelek.

2. Perjalanan kedua : Safar bi al-Haq fi al-Haq (Perjalanan bersama Tuhan di dalam Tuhan). Pada tahap ini seorang salik memulai tahap kewaliannya, karena wujudnya telah menjadi diri-Nya dan dengan itu dia melakukan penyempurnaan dalam nama-nama agung Tuhan. Tingkat ini adalah tingkat penyempurnaan teologis seorang salik. Dalam konteks ini Mulla Sadra membicarakan tentang hal-hal yang berkaitan dengan ketuhanan.

3. Perjalanan ketiga ; Safar min al-Haq ila al-Khalq bi al-Haq (Perjalanan dari Tuhan menuju Makhluk bersama Tuhan). Dalam stasion ini seorang salik menempuh perjalanan dalam Af’al Tuhan, kesadaran Tuhan telah menjadi kesadarannya dan menempuh perjalanan di antara alam Jabarut, Malakut dan Nasut serta menyaksikan segala sesuatu yang ada pada alam tersebut melalui pandangan Tuhan. Pembicaraan pada tingkat ini meliputi proses penciptaan dan emanasi yang terjadi pada intelek-intelek.

4. Perjalanan keempat ; Safar min al-Khalq ila al-Khalq bi al-Haq (Perjalanan dari makhluk menuju makhluk bersama Tuhan). Pada tahap ini perjalanan penyaksian seluruh makhluk dan apa yang terjadi padanya di dunia dan akhirat serta mengetahui perjalanan kembali menuju Allah dan bentuk kembalinya serta azab dan nikmat yang akan diberikan Allah pada mereka. Karena itu pembicaraan Mulla Sadra pada tingkat ini adalah pembicaraan yang berkaitan dengan Eskatologi atau Ma’ad yang akan terjadi pada diri manusia setelah kematiannya dan dengan bukti serta argumentasi rasional .

Di antara persoalan yang dibicarakan Mulla Sadra dalam filsafatnya adalah persoalan eskatologi yang merupakan substansi perjalanan keempat dari filsafatnya. Mengingat persoalan ini merupakan persoalan yang telah melahirkan skisma yang cukup dalam antara teologi dan filsafat serta persoalan yang dihadapi manusia modern saat ini seperti yang telah dijelaskan sebelumnya maka pandangan eskatologi yang dikemukakan Mulla Sadra ini tentulah sangat menarik untuk dikaji lebih jauh mengingat perannya sebagai sintesis dari berbagai pemikiran terutama antara teologi dan filsafat dan hal ini paling tidak akan memberikan jawaban yang lebih akumulatif terhadap keyakinan ummat Islam tentang prinsip Ma’ad atau kebangkitan kembali dan sekaligus menjadi bukti argumentatif bagi persoalan yang dihadapi manusia modern.

Disertasi ini memetakan kembali pandangan eskatologi yang digagas Mulla Sadra dengan beragam prinsip yang menopangnya, juga beragam persoalan yang terkait dengan kajian eskatologi seperti : Persoalan Jiwa, Reinkarnasi, Kebangkitan Jasmani dan pandangan Mulla Sadra terhadap pandangan eskatologi sebelumnya serta pemaknaan yang dilakukan Mulla Sadra terhadap peristiwa-peristiwa eskatologis.

Karena corak utama filsafat al-Hikmah al-Muta’aliyyah yang dikembangkan Mulla Sadra merupakan sintesis dari beragam corak pemikiran islam maka warna tersebut terlihat jelas dalam pandangan eskatologinya, sebuah pandangan yang didasari demonstrasi rasional, sekaligus menawarkan gagasan-gagasan yang berkesesuain dengan doktrin agama dan pemaknaan-pemaknaan yang bersifat metaforis (irfani).


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………………....………….…...……….i
SURAT PERNYATAAN…………...………...……………...……...….ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING……………..……………………….iii
PERSETUJUAN PENGUJI……………………………..………………v
DAFTAR ISI…………………………………………….......................ix
KATA PENGANTAR……………………………………...……….....xii
ABSTRAK……………………………………….................................xiv
PEDOMAN TRANSLITERASI……………………………………...xvii
DAFTAR SINGKATAN………………………………………………xx
BAB I PENDAHULUAN……………………………………...…….1
A. Latar Belakang…………………....................................................1
B. Rumusan Masalah……………………………...………….…….10
C. Signifikansi Penelitian……………………………......................11
D. Kajian Terdahulu…………………………………......................13
E. Metode Penelitian…………………………………….………....16
F. Sistematika Penelitian…………...................................................19
BAB II BIOGRAFI MULLA SADRA…………................................21
A. Fase Kehidupan…………………………………...…………….21
B. Guru-guru………………………………….…..………………..28
C. Murid-murid…………………….................................................32
D. Karya-karya……………………………………...…...................35
E. Aliran Filsafat…………………...………………………………41
BAB III PRINSIP-PRINSIP FILSAFAT……………….....................48
A. Keutamaan Wujud dan Kerelatifan Kuiditas…………………………49
B. Ambiguitas Wujud………………………………………………52
C. Kontinyuitas Wujud……………………………………………..55
D. Wujud Mental……………………...............................................57
E. Prinsip Emanasi…………………………………………………59
F. Gerakan Trans-Substansial………...............................................64
G. Kesatuan antara Subjek dan Objek Pengetahuan……………..68
H. Alam Imajinal…………………...................................................74


BAB IV PRINSIP-PRINSIP ESKATOLOGI…………...…………..80
A. Argumentasi Eskatologis…………………………...…………..80
B. Realitas Jiwa………………………………………...………….84
C. Persoalan Reinkarnasi……………………………...………….103
D. Sebelas Prinsip Dasar Eskatologi..………………………………………...………….117
E. Kritik terhadap Pandangan Eskatologi Pemikir Muslim…………………………………..…….…………..…..133
F. Mulla Sadra dan Persoalan Kebangkitan Jasmani……………………………………….…………...…..149
BAB V MAKNA PERISTIWA-PERISTIWA ESKATOLOGIS…………..…………………………………...…….157
A. Hakikat Kematian dan Alam Kubur……………………………………………....……….…157
B. Azab Kubur……………………………………………………162
C. Keberlangsungan Daya Fisik Pasca Kematian………………..168
D. Hakikat Kiamat………………………………………………..171
E. Kebangkitan dan Pengumpulan……………………………….177
F. Kebangkitan Jasmani dan Fisikalisasi Perbuatan……………..187
G. Bahan Dasar Akhirat…………………………………….……196
H. Sirat, Lembaran dan Kitab, Perhitungan dan Timbangan……………………………………….……………200
I. Tingkatan dan Keadaan Manusia pada Hari Kiamat…………………………………………………..……..208
J. Hakikat Surga dan Neraka…………………………………….210
K. Kebahagiaan dan Penderitaan………………………….….…..217
L. Makna Keabadian dan Pembaharuan Penghuni
Surga dan Neraka……………………………………….……222
BAB VI PENUTUP………………………………....……………….228
A. Kesimpulan………………………………….………….……..228
B. Saran-saran…………………………….……………….……..230
DAFTAR PUSTAKA……………………………………..…………232
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
LAMPIRAN-LAMPIRAN

Daftar Riwayat Hidup

A. Identitas Pribadi
Nama : Kholid Al Walid, MA.g
Tempat/ Tgl Lahir : Palembang, 20 september 1970
Alamat : Komp. Reni Jaya Blok A1 no 4 Pondok Petir Sawangan -Depok
Telp. (021) 7443227 Hp : 0818981024
Pekerjaan : 1. Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
2. Kabid Pendidikan Yayasan Az-Zahra – Jakarta.
3. Dosen ICAS Jakarta.

B. Keluarga
Nama Ayah : Amir Sopian
Nama Ibu : Zuhroh H.S.
Nama Istri : Hj. Renny Ariany, M.Sc
Nama Anak : 1. Nargis Fatimah Behesyti
2. Nabila Sirin Thowusyi
3. Najwa Feresteh Zahra

C. Riwayat Pendidikan :
01. Sekolah Dasar Negeri 1 Sukatani Palembang tamat tahun 1983
02. Sekolah Menengah Pertama YPT tamat tahun 1986
03. Sekolah Menengah Atas Negeri Kenten – Palembang tamat tahun 1989
04. S.1 Fak. Ushuluddin IAIN Raden Fatah Palembang tamat tahun 1995
05. Hauzeh Ilmiyeh Hujjatiyeh – Qom, Republik Islam Iran tamat tahun 2001
06. S.2 Aqidah dan Pemikiran Islam – Pasca Sarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung tamat tahun 2004
07. S.3 Pemikiran Islam – Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta – Sampai sekarang
D. Karya Tulis :
01. Kefakiran Pakaianku, Tulisan bebas dimuat di harian Sriwijaya Post, 1992
02. Filsafat Perenial, Lomba karya tulis ilmiah Tk. Nasional IAIN Sunan Gunung Djati Bandung -1994
03. Filsafat Perenial (Suatu telaah atas pentingnya kearifan jiwa dalam membentuk fitrah ummat manusia), Skripsi – 1995
04. Manusia Primordial, Majalah Format – Palembang 1995
05. Mengetuk Pintu Langit, Tulisan di harian Sriwijaya Post, 2002
06. Antara Sadruddin Qunawi dan Mulla Shadra, Buletin Isyraq – Bandung 2002
07. Wahdatul Wujud, Buletin Isyraq – Bandung 2002
08. Tasawuf Imam Khomeni, Buletin Isyraq – Bandung 2003
09. Qabz Va Bast, Pemberontakan Kalam Abdul Karim Sourous, Buletin Isyraq, 2003
10. Tasawuf Mulla Shadra, Muthahari Press, 2005
11. Epistemologi Mulla Shadra, Ittihad al-Aqil wa al-Ma’qul. Tesis-UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2005
12. Ayat-ayat mistik, makalah diskusi – Bandung, 2005
13. Wilayatul Faqih, Teodemokrasi. Makalah seminar – Bandung, 2005
14. Tasawuf Mulla Sadra, Buku- Muthahari Press, Bandung,2005
15. Agama Baha’I, makalah diskusi – Jakarta, 2005
16. Hadist Ilmu, makalah diskusi – Jakarta, 2005
17. Menjadi Jenius, Diskusi Pendidikan – Bandung, 2006
18. Filsafat Tasawuf Qunawi, makalah diskusi – Jakarta 2006
19. Cinta dalam al-Qur’an, makalah diskusi – Jakarta 2006
20. Dimensi-dimensi al-Qur’an, makalah diskusi – Jakarta 2006
21. Berdukalah bersama Rasul, makalah – Jakarta 2006
22. Teologi Muhammad Taqi Misbah, makalah diskusi – Jakarta 2006
23. Kosmologi Ibn Arabi, Buletin Isyraq Bandung 2006
24. Studi kritis Paradigma Islam Liberal al-jabiri, makalah diskusi – Jakarta 2006
25. Tokoh Sufi Abad ini, Buletin Isyraq – Bandung 2006
26. Psikologi Tasawuf, makalah seminar, Jakarta 2006
27. Mengendalikan Marah, makalah diskusi, Jakarta 2006
28. Menjemput Ramadhan, makalah diskusi, Pakanbaru, 2006
29. Hakikat Nuzulul Qur’an, makalah diskusi, New Zealand, 2006
30. Bulan Ramadhan Bulan Spiritual, makalah diskusi, New Zealand, 2006
31. Hakikat Puasa, makalah diskusi, New Zealand, 2006
32. Sekali lagi tentang takwa, makalah diskusi, New Zealand, 2006
33. Efek ketakwaan, makalah diskusi, New Zealand, 2006
34. Efek ketidaktakwaan, makalah diskusi, New Zealand, 2006
35. Kiat Meraih Ketakwaan, makalah diskusi, New Zealand, 2006
36. Nestapa Fathimah Az-Zahra, makalah, Jakarta, 2007