Selasa, 27 Mei 2008
Mulla Sadra
Tanpa keraguan bahwa Mulla Sadrā penggagas aliran baru dalam filsafat Islam yang berbeda sama sekali dengan dua aliran filsafat sebelumnya ; Masyāiyyīn ( Peripatetik ) dan Isyrāqiyyīn ( Illuminasi ). Hal ini tercermin dari bangunan filsafat Mulla Sadrā yang dikenal dengan sebutan al-Hikmah al-Muta’āliyyah yang menghimpun kedua aliran tersebut dan melakukan sintesa serta penyempurnaan-penyempurnaan pada banyak bagian dari pandangan filsafat Peripatetik maupun Iluminasi.
Bahkan Abu Abdillah Zanjani menyebutkan bahwa Mulla Sadrā telah menghidupkan kembali pemikiran filsafat sebelumnya yang telah mati baik karena serangan-serangan al-Ghazāli terhadap filsafat maupun karena penghancuran peradaban Islam oleh kaum Mongol dan Turki. Secara lebih rinci ia jelaskan :
“Mulla Sadrā telah menghidupkan kembali dan memulai kehidupan baru dari timbunan tanah kematian aliran filsafat Ibn Sinā ( karena serangan al-Ghazāli, pengikut Asy’ari dan kaum Hanbali juga serbuan tentara-tentara Mongol dan Turki yang telah menghancurkan ilmu pengetahuan dan pemikirian ). Langkah dan semangat tersebut kembali kepadanya (Mulla Sadrā). Kagungan filsafat kembali bergema dengan hadirnya filosof besar pasca Ibn Sinā yang harapan berada dipundaknya dan sampai sekarang menjadi guru besar dan terhitung sebagai pendiri aliran baru dalam filsafat” [1].
Ada juga yang beranggapan bahwa Mulla Sadrā hanya sekedar melakukan tambal sulam dari filsafat Ibn Sina, tapi pernyataan seperti ini jelas tidak benar. Jika seseorang melihat secara mendalam pemikiran filsafat Mulla Sadrā dia akan segera menemukan perbedaan yang tegas antara aliran Peripatetik dengan al-Hikmah al-Muta’āliyyah . Meskipun Mulla Sadrā tetap menggunakan istilah dan topik-topik yang sama dalam pembahasan filsafatnya tetapi pandangan maupun argumentasi serta bentuk pemahaman terhadap topik itu jelas berbeda.
Didalam bangunan Filsafat al-Hikmah al-Muta’āliyyah secara jelas tergambar aliran-aliran pemikiran sebelumnya seperti Filsafat, Gnostik, Teologi tetapi sama sekali Mulla Sadrā tidak terjebak sebagaimana dugaan sebagian pemikir bahwa Mulla Sadrā melakukan sinkretisasi, tetapi yang dilakukan Mulla Sadrā adalah harmonisasi semua elemen tersebut sehingga membentuk warna baru yang masing-masing kesatuan saling terkait dan mendukung satu sama lain. Sebagaimana yang dinyatakannya sendiri : “Telah tergabung padanya ilmu-ilmu Ketuhanan (Teologi) pada filsafat analitis serta telah aku lapisi hakikat-hakikat penyaksian dengan penjelasan-penjelasan yang dapat dipelajari.” [2]
Al-Asfār memuat gambaran ini secara jelas dengan mengemukakan berbagai prinsip pandangan Iluminasi seperti Asālat al-Wujūd atau Cahaya dan Tasykīk al-Wujūd juga Harākat al-Jawhariyyāh yang merupakan tema bahasan filosof-filosof Iran qadim, serta Tajarrud al-Mitsāl, Ittihād al-‘Āqil wa al-Ma’qūl dan Basith al-Haqīqah Kulli Asyya’, yang merupakan tema-tema Gnostik, Plotinus maupun para Sufi. Semua hal tersebut, ditangan Mulla Sadrā mendapatkan penjelasan rasional-logis yang sama sekali bentuk seperti ini tidak ditemukan pada filosof sebelumnya.
Dua aliran utama filsafat sebelum Mulla Sadrā secara jelas saling beroposan satu sama lain. Peripatetik sebagai filsafat yang mendasarkan prinsipnya pada bentuk silogisme-Aristotelian yang sangat rasional, bahkan menurut Fayadi “Ibn Sinā tidak akan membicarakan sebuah persoalan yang tidak terbukti secara rasional”.[3] Dihadapannya, Suhrawardi dengan Mazhab Iluminasinya meyakini bahwa pengetahuan dan segala sesuatu yang terkait dengannya hanya bisa dicapai melalui proses Syuhūdi dan proses tersebut hanya bisa dicapai dengan melakukan upaya elaborasi ruhani.
Kita kemudian dapat menemukan posisi filsafat al-Hikmah al-Muta’āliyyah yang jelas-jelas memunculkan sebuah warna baru diantara aliran filsafat yang ada. Dalam pandangan Mulla Sadrā baik Akal maupun Syuhūd keduanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam filsafat dan meyakini bahwa Isyrāqi tanpa argumentasi rasional tidaklah memiliki nilai apapun, begitupun sebaliknya.
Melakukan suluk ruhani untuk mencapai ma’rifat dan pencerahan batin bukanlah pekerjaan yang dapat dilakukan setiap orang, karena di perlukan seorang guru yang mampu membimbing salik untuk melewati tahap-tahap perjalanan ruhani dan disitu juga terkandung upaya-upaya Setan yang selalu berusaha menjerumuskan para penempuh jalan ruhani tersebut. Tetapi tanpa ma’rifat dan pencerahan batin tidak mungkin seseorang akan dapat mencapai puncak kesempurnaan dirinya. Dengan argumentasi-argumentasi rasional Mulla Sadrā telah memberikan pelita bimbingan bagi para ilmuwan dan intelektual untuk dapat menempuh jalan ruhani dalam upaya ma’rifat dan pencerahan batin. Inilah metoda al-Hikmah al-Muta’āliyyah yang dikembangkan Mulla Sadrā. Karenanya Mulla Sadrā dapat disebut sebagian merupakan filosof Peripatetik, sebagian disebut Filosof Iluminasi bahkan Plotinusnya Islam, karenanya Henry Corbin secara khusus dalam hal ini memberikan komentar :
“Jika Dia dikenal sebagai filosof beraliran Ibn Sinā, harus juga ditambahkan bahwa dia juga Filosof Isyrāqi dan pada saat yang sama merupakan penggambaran dari pemikiran Ibn ‘Arabi. Mulla Sadrā merupakan salah satu yang terpenting dari pemikir Plotinus dari Iran Islami dan juga seorang pemikir Syi’ah…” [4]
Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa bagi Mulla Sadrā kebenaran mistis yang diperoleh berdasarkan perjalanan ruhani merupakan kebenaran intelektual itu sendiri dan pengalaman-pengalaman mistis yang diperoleh merupakan pengalaman kognitif yang dihasilkan dari proses berfikir, hanya menurut Sadrā yang dibutuhkan adalah upaya ilmiah yang dapat menjadi bukti logis bagi hal tersebut.
Mulla Sadrā beranggapan bahwa Musyāhadah yang dihasilkan melalui proses Mukāsyafah jika merupakan sebuah kebenaran Ilahi dan Hakiki maka pastilah rasional dan akal akan dapat membuktikannya. Mulla Sadrā menyadari bahwa pada umumnya kaum Sufi dan Gnostik seringkali mengabaikan argumentasi rasional dalam menegakkan ajarannya, semisal Ibn ‘Arabi yang menggunakan metodologi analogi dan imaji dalam penyampaian ajaran-ajarannya. Yang demikian tersebut bagi Mulla Sadrā tidak dapat menjadi hujjah bagi semua orang. [5]
Bahkan pada bagian lain secara tegas Mulla Sadrā menetapkan pola filsafatnya yang berbeda dari pemikiran lainnya sekaligus kritiknya[6] terhadap sebagian Sufi : “Dan dia (al-Hikmah al-Muta’āliyyah ) bukan merupakan perdebatan Teologis, bukan filsafat rasional semata dan juga bukan hasil khayalan-khayalan kaum sufi” [7]
Dalam filsafat Mulla Sadrā kita juga menemukan warna diskursus Teologis, akan tetapi seperti pernyataannya diatas filsafatnya bukanlah Teologi. Mulla Sadrā memang sejak muda telah menguasai Teologi (Ilmu Kalam) secara sangat mendalam baik pada fase pelajarannya di Syirāz, Qazwin ataupun Isfahan dia selalu bersentuhan dengan Teologi sehingga pada usia sangat muda, Mulla Sadrā sudah menguasai Teologi secara matang. Beberapa kitabnya yang ditulis pada fase-fase belajarnya merangkum kritik-kritik tajamnya kepada Mu’tazilah yang menyandarkan sepenuhnya pada akal sehingga cenderung mengabaikan nash-nash Syari’at dan Asy’ari yang cenderung mengabaikan akal dan hanya menganggap bahwa semata kebenaran hanyalah syari’at. Bagi Mulla Sadrā keduanya berada pada dua titik ekstrim yang sama bahayanya.
Diskursus Teologis pada intinya juga berkaitan dengan topik-topik filosofis, karenanya, Mulla Sadrā memberikan analisa kritis dan argumentasi-argumentasi rasional dalam persoalan tersebut namun tidak terjebak menjadikan Filsafat sebagai Teologi. Mulla Sadrā tetap dengan plat form filsafat dalam menanggapi diskursus tersebut, ia menggunakan caranya sendiri yang khas sebagaimana yang juga dilakukan sebelumnya oleh Khwaja Nasiruddin Tusi, sehingga memberikan senjata baru untuk membela ajaran-ajaran Islam. Kalau Khwaja Nasiruddin Tusi merubah Teologi menjadi Filsafat, Mulla Sadrā menjadikan filsafat sebagaimana layaknya Teologi tapi tentu Teologi baru, dalam pengertian bentuk, pola dan cara yang digunakan didasarkan pada aliran filsafat peripatetik dan Iluminasi akan tetapi persoalan yang di bahas justru persoalan Teologi.
Teologi sebagai satu cabang ilmu yang berusaha mempertahankan agama dan keyakinan dari serangan-serangan yang datang dari luar dengan menggunakan nash-nash dan sedikit argumentasi rasional tetapi di tangan Mulla Sadrā meskipun tetap menjadikan nash-nash tersebut sebagai inspirasi utama namun argumentasi-argumentasi rasional-filosofis menjadi penyangga utama keyakinan-keyakinan tersebut, sehingga bagi seorang atheispun sulit untuk dapat membantah keyakinan Teologis tersebut.
Akal dan Wahyu ketika masih berada dalam wacana Asy’arian dan Mu’tazilah menjadi dua hal yang selalu beroposan, pada al-Hikmah al-Muta’āliyyah menjadi sekeping mata uang yang hanya berbeda sisinya. Argumentasi-argumentasi filosofis Mulla Sadrā menjangkau nash-nash tersebut dan memberikannya dalil-dalil rasional. Mulla Sadrā membuktikan bahwa wahyu dan hakikat yang diajarkan para Nabi bukan hanya dapat dibuktikan secara rasional akan tetapi keduanya sama sekali tidak memilki pertentangan sedikitpun. Wahyu dan Akal merupakan sebuah kesatuan dari gambaran kemanunggalan Wujud Tuhan.
Mulla Sadrā memandang akal dalam dua hal penting ; pertama, Seluruh asal dari kebenaran wahyu dan kenabian serta agama berasal dari akal dan merupakan jembatan untuk sampai pada syariat. Kedua, akal manusia meskipun derajatnya lebih rendah dari wahyu dan agama dalam membimbing manusia akan tetapi kejelasannya dan benderangnya tidak kurang dari wahyu. Meskipun demikian tidak sedikitpun terjadi pertentangan antara akal dan wahyu. Akal yang sehat dengan Wahyu yang benar dalam pandangan Mulla Sadrā, keduanya adalah satu warna. [8]
Bagi Mulla Sadrā akal dan wahyu merupakan hal yang satu dan berasal dari tempat yang satu yaitu Ruh Kesucian (Ruh al-Quds) atau Intelek Aktif (Aql Fa’āl) dan bagi Mulla Sadrā tidak terbayangkan diantara kedua hal tersebut terjadi pertentangan. Karenanya Akal berfungsi sebagai penopang rasional bagi penyaksian ruhaniah (Musyāhādah) dan penyaksian ruhaniah merupakan puncak tertinggi dari upaya menyerap pengetahuan.
Berdasarkan prinsip-prinsip yang telah dikemukakan Mulla Sadrā mengambil tiga sumber mendasar dan melakukan harmonisasi diantara ketiga hal tersebut dan menjadikan warna filsafat tersendiri yang jauh lebih sempurna dari pemikiran yang berkembang sebelumnya. Karenanya ada banyak tokoh yang memandang Mulla Sadrā sebagai Filosof Peripatetik, Teosof Iluminasi sekaligus Teolog Islami.
[1] Abu Abdillah Zanjani sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Khamne’i, Muqaddimah., hal. Dua ratus Tujuh puluh Dua. Teks asli sebagai berikut :
ملا صدرا در خاكستر مكتب مرده ابن سينا- كه بر اثر حملات نارواى غزالى وييروان اشعرى مسلكـــ وحنبلى مآب او و همجنين بدنبال حملات ويرانكر علم وانديشه تركان ومغولان بيجان شده بود-روحى تازه دميد وجوانى رابه وى بازكر دانيد. شيفتكان فلسفه به اين فيلسوف بزركـــ وامدارند وحقا يس از ابن سينا تا بامروز معلم بزركـــ و بنيانكذار فلسفه وصاحب مكتب بشمار مىرود".
[2] Mulla Sadra, Syarh al-Ushul.,hal.9 Teks asli sebagai berikut :
"قد اندمـجت فيه العلوم التألهية في الحكمة البحثية وتدرعت فيه الحقائق الكشفية بالبيانات التعليمية".
[3] Fayadi, “Falsafeye Masya’ dar Hikmat Muta’’Aliyeh”, Majeleye Ma’rifat, XII, 3 (Bahman (bulan Iran), 1997), hal. 65
[4] Henry Corbin, sebagaiamana yang dikutip Muhammad Khamne’i, Muqaddimah, hal. Dua ratus tujuh puluh tujuh.
[5] Lihat : Mulla Sadra, al-Hikmah al-Muta’āliyyah fi al-Asfar al-Arba’ah ., J. 9 hal. 234 (Selanjutnya disebut : al-Asfar)
[6] Meskipun Mulla Sadra kerap melakukan kritik yang tajam pada kaum sufi, tetapi sufi yang dimaksud adalah sufi-sufi yang hanya menunjukkan bentuk-bentuk ritual (Pseudo-Sufistik), karena dalam memandang Ibn Arabi, Mulla Sadra begitu kagum dan sama sek’Ali tidak didapati kritik langsung kepada Ibn Arabi, bahkan berdasarkan beberapa penggalan-penggalan pernyataannya di dalam kitab Asfar ditemukan bahwa Mulla Sadra meyakini konsep Wahdat al-Wujūd Ibn Arabi. Untuk lebih jelas lihat al-Asfār J. 2,3 dan 7.
[7] Mulla Sadra, al-Masya’ir, (Tehran : Amir Kabir). 1376, hal.3 Teks asli sebagai berikut :
"وهي ليست من المجادلات الكلامية ولا من الفلسفة البحثية المذمومة ولا من التخيلات الصوفية"
[8] Lihat : Mulla Sadra, Muqaddimah., hal. Dua ratus Delapan puluh Satu.
Bahkan Abu Abdillah Zanjani menyebutkan bahwa Mulla Sadrā telah menghidupkan kembali pemikiran filsafat sebelumnya yang telah mati baik karena serangan-serangan al-Ghazāli terhadap filsafat maupun karena penghancuran peradaban Islam oleh kaum Mongol dan Turki. Secara lebih rinci ia jelaskan :
“Mulla Sadrā telah menghidupkan kembali dan memulai kehidupan baru dari timbunan tanah kematian aliran filsafat Ibn Sinā ( karena serangan al-Ghazāli, pengikut Asy’ari dan kaum Hanbali juga serbuan tentara-tentara Mongol dan Turki yang telah menghancurkan ilmu pengetahuan dan pemikirian ). Langkah dan semangat tersebut kembali kepadanya (Mulla Sadrā). Kagungan filsafat kembali bergema dengan hadirnya filosof besar pasca Ibn Sinā yang harapan berada dipundaknya dan sampai sekarang menjadi guru besar dan terhitung sebagai pendiri aliran baru dalam filsafat” [1].
Ada juga yang beranggapan bahwa Mulla Sadrā hanya sekedar melakukan tambal sulam dari filsafat Ibn Sina, tapi pernyataan seperti ini jelas tidak benar. Jika seseorang melihat secara mendalam pemikiran filsafat Mulla Sadrā dia akan segera menemukan perbedaan yang tegas antara aliran Peripatetik dengan al-Hikmah al-Muta’āliyyah . Meskipun Mulla Sadrā tetap menggunakan istilah dan topik-topik yang sama dalam pembahasan filsafatnya tetapi pandangan maupun argumentasi serta bentuk pemahaman terhadap topik itu jelas berbeda.
Didalam bangunan Filsafat al-Hikmah al-Muta’āliyyah secara jelas tergambar aliran-aliran pemikiran sebelumnya seperti Filsafat, Gnostik, Teologi tetapi sama sekali Mulla Sadrā tidak terjebak sebagaimana dugaan sebagian pemikir bahwa Mulla Sadrā melakukan sinkretisasi, tetapi yang dilakukan Mulla Sadrā adalah harmonisasi semua elemen tersebut sehingga membentuk warna baru yang masing-masing kesatuan saling terkait dan mendukung satu sama lain. Sebagaimana yang dinyatakannya sendiri : “Telah tergabung padanya ilmu-ilmu Ketuhanan (Teologi) pada filsafat analitis serta telah aku lapisi hakikat-hakikat penyaksian dengan penjelasan-penjelasan yang dapat dipelajari.” [2]
Al-Asfār memuat gambaran ini secara jelas dengan mengemukakan berbagai prinsip pandangan Iluminasi seperti Asālat al-Wujūd atau Cahaya dan Tasykīk al-Wujūd juga Harākat al-Jawhariyyāh yang merupakan tema bahasan filosof-filosof Iran qadim, serta Tajarrud al-Mitsāl, Ittihād al-‘Āqil wa al-Ma’qūl dan Basith al-Haqīqah Kulli Asyya’, yang merupakan tema-tema Gnostik, Plotinus maupun para Sufi. Semua hal tersebut, ditangan Mulla Sadrā mendapatkan penjelasan rasional-logis yang sama sekali bentuk seperti ini tidak ditemukan pada filosof sebelumnya.
Dua aliran utama filsafat sebelum Mulla Sadrā secara jelas saling beroposan satu sama lain. Peripatetik sebagai filsafat yang mendasarkan prinsipnya pada bentuk silogisme-Aristotelian yang sangat rasional, bahkan menurut Fayadi “Ibn Sinā tidak akan membicarakan sebuah persoalan yang tidak terbukti secara rasional”.[3] Dihadapannya, Suhrawardi dengan Mazhab Iluminasinya meyakini bahwa pengetahuan dan segala sesuatu yang terkait dengannya hanya bisa dicapai melalui proses Syuhūdi dan proses tersebut hanya bisa dicapai dengan melakukan upaya elaborasi ruhani.
Kita kemudian dapat menemukan posisi filsafat al-Hikmah al-Muta’āliyyah yang jelas-jelas memunculkan sebuah warna baru diantara aliran filsafat yang ada. Dalam pandangan Mulla Sadrā baik Akal maupun Syuhūd keduanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam filsafat dan meyakini bahwa Isyrāqi tanpa argumentasi rasional tidaklah memiliki nilai apapun, begitupun sebaliknya.
Melakukan suluk ruhani untuk mencapai ma’rifat dan pencerahan batin bukanlah pekerjaan yang dapat dilakukan setiap orang, karena di perlukan seorang guru yang mampu membimbing salik untuk melewati tahap-tahap perjalanan ruhani dan disitu juga terkandung upaya-upaya Setan yang selalu berusaha menjerumuskan para penempuh jalan ruhani tersebut. Tetapi tanpa ma’rifat dan pencerahan batin tidak mungkin seseorang akan dapat mencapai puncak kesempurnaan dirinya. Dengan argumentasi-argumentasi rasional Mulla Sadrā telah memberikan pelita bimbingan bagi para ilmuwan dan intelektual untuk dapat menempuh jalan ruhani dalam upaya ma’rifat dan pencerahan batin. Inilah metoda al-Hikmah al-Muta’āliyyah yang dikembangkan Mulla Sadrā. Karenanya Mulla Sadrā dapat disebut sebagian merupakan filosof Peripatetik, sebagian disebut Filosof Iluminasi bahkan Plotinusnya Islam, karenanya Henry Corbin secara khusus dalam hal ini memberikan komentar :
“Jika Dia dikenal sebagai filosof beraliran Ibn Sinā, harus juga ditambahkan bahwa dia juga Filosof Isyrāqi dan pada saat yang sama merupakan penggambaran dari pemikiran Ibn ‘Arabi. Mulla Sadrā merupakan salah satu yang terpenting dari pemikir Plotinus dari Iran Islami dan juga seorang pemikir Syi’ah…” [4]
Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa bagi Mulla Sadrā kebenaran mistis yang diperoleh berdasarkan perjalanan ruhani merupakan kebenaran intelektual itu sendiri dan pengalaman-pengalaman mistis yang diperoleh merupakan pengalaman kognitif yang dihasilkan dari proses berfikir, hanya menurut Sadrā yang dibutuhkan adalah upaya ilmiah yang dapat menjadi bukti logis bagi hal tersebut.
Mulla Sadrā beranggapan bahwa Musyāhadah yang dihasilkan melalui proses Mukāsyafah jika merupakan sebuah kebenaran Ilahi dan Hakiki maka pastilah rasional dan akal akan dapat membuktikannya. Mulla Sadrā menyadari bahwa pada umumnya kaum Sufi dan Gnostik seringkali mengabaikan argumentasi rasional dalam menegakkan ajarannya, semisal Ibn ‘Arabi yang menggunakan metodologi analogi dan imaji dalam penyampaian ajaran-ajarannya. Yang demikian tersebut bagi Mulla Sadrā tidak dapat menjadi hujjah bagi semua orang. [5]
Bahkan pada bagian lain secara tegas Mulla Sadrā menetapkan pola filsafatnya yang berbeda dari pemikiran lainnya sekaligus kritiknya[6] terhadap sebagian Sufi : “Dan dia (al-Hikmah al-Muta’āliyyah ) bukan merupakan perdebatan Teologis, bukan filsafat rasional semata dan juga bukan hasil khayalan-khayalan kaum sufi” [7]
Dalam filsafat Mulla Sadrā kita juga menemukan warna diskursus Teologis, akan tetapi seperti pernyataannya diatas filsafatnya bukanlah Teologi. Mulla Sadrā memang sejak muda telah menguasai Teologi (Ilmu Kalam) secara sangat mendalam baik pada fase pelajarannya di Syirāz, Qazwin ataupun Isfahan dia selalu bersentuhan dengan Teologi sehingga pada usia sangat muda, Mulla Sadrā sudah menguasai Teologi secara matang. Beberapa kitabnya yang ditulis pada fase-fase belajarnya merangkum kritik-kritik tajamnya kepada Mu’tazilah yang menyandarkan sepenuhnya pada akal sehingga cenderung mengabaikan nash-nash Syari’at dan Asy’ari yang cenderung mengabaikan akal dan hanya menganggap bahwa semata kebenaran hanyalah syari’at. Bagi Mulla Sadrā keduanya berada pada dua titik ekstrim yang sama bahayanya.
Diskursus Teologis pada intinya juga berkaitan dengan topik-topik filosofis, karenanya, Mulla Sadrā memberikan analisa kritis dan argumentasi-argumentasi rasional dalam persoalan tersebut namun tidak terjebak menjadikan Filsafat sebagai Teologi. Mulla Sadrā tetap dengan plat form filsafat dalam menanggapi diskursus tersebut, ia menggunakan caranya sendiri yang khas sebagaimana yang juga dilakukan sebelumnya oleh Khwaja Nasiruddin Tusi, sehingga memberikan senjata baru untuk membela ajaran-ajaran Islam. Kalau Khwaja Nasiruddin Tusi merubah Teologi menjadi Filsafat, Mulla Sadrā menjadikan filsafat sebagaimana layaknya Teologi tapi tentu Teologi baru, dalam pengertian bentuk, pola dan cara yang digunakan didasarkan pada aliran filsafat peripatetik dan Iluminasi akan tetapi persoalan yang di bahas justru persoalan Teologi.
Teologi sebagai satu cabang ilmu yang berusaha mempertahankan agama dan keyakinan dari serangan-serangan yang datang dari luar dengan menggunakan nash-nash dan sedikit argumentasi rasional tetapi di tangan Mulla Sadrā meskipun tetap menjadikan nash-nash tersebut sebagai inspirasi utama namun argumentasi-argumentasi rasional-filosofis menjadi penyangga utama keyakinan-keyakinan tersebut, sehingga bagi seorang atheispun sulit untuk dapat membantah keyakinan Teologis tersebut.
Akal dan Wahyu ketika masih berada dalam wacana Asy’arian dan Mu’tazilah menjadi dua hal yang selalu beroposan, pada al-Hikmah al-Muta’āliyyah menjadi sekeping mata uang yang hanya berbeda sisinya. Argumentasi-argumentasi filosofis Mulla Sadrā menjangkau nash-nash tersebut dan memberikannya dalil-dalil rasional. Mulla Sadrā membuktikan bahwa wahyu dan hakikat yang diajarkan para Nabi bukan hanya dapat dibuktikan secara rasional akan tetapi keduanya sama sekali tidak memilki pertentangan sedikitpun. Wahyu dan Akal merupakan sebuah kesatuan dari gambaran kemanunggalan Wujud Tuhan.
Mulla Sadrā memandang akal dalam dua hal penting ; pertama, Seluruh asal dari kebenaran wahyu dan kenabian serta agama berasal dari akal dan merupakan jembatan untuk sampai pada syariat. Kedua, akal manusia meskipun derajatnya lebih rendah dari wahyu dan agama dalam membimbing manusia akan tetapi kejelasannya dan benderangnya tidak kurang dari wahyu. Meskipun demikian tidak sedikitpun terjadi pertentangan antara akal dan wahyu. Akal yang sehat dengan Wahyu yang benar dalam pandangan Mulla Sadrā, keduanya adalah satu warna. [8]
Bagi Mulla Sadrā akal dan wahyu merupakan hal yang satu dan berasal dari tempat yang satu yaitu Ruh Kesucian (Ruh al-Quds) atau Intelek Aktif (Aql Fa’āl) dan bagi Mulla Sadrā tidak terbayangkan diantara kedua hal tersebut terjadi pertentangan. Karenanya Akal berfungsi sebagai penopang rasional bagi penyaksian ruhaniah (Musyāhādah) dan penyaksian ruhaniah merupakan puncak tertinggi dari upaya menyerap pengetahuan.
Berdasarkan prinsip-prinsip yang telah dikemukakan Mulla Sadrā mengambil tiga sumber mendasar dan melakukan harmonisasi diantara ketiga hal tersebut dan menjadikan warna filsafat tersendiri yang jauh lebih sempurna dari pemikiran yang berkembang sebelumnya. Karenanya ada banyak tokoh yang memandang Mulla Sadrā sebagai Filosof Peripatetik, Teosof Iluminasi sekaligus Teolog Islami.
[1] Abu Abdillah Zanjani sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Khamne’i, Muqaddimah., hal. Dua ratus Tujuh puluh Dua. Teks asli sebagai berikut :
ملا صدرا در خاكستر مكتب مرده ابن سينا- كه بر اثر حملات نارواى غزالى وييروان اشعرى مسلكـــ وحنبلى مآب او و همجنين بدنبال حملات ويرانكر علم وانديشه تركان ومغولان بيجان شده بود-روحى تازه دميد وجوانى رابه وى بازكر دانيد. شيفتكان فلسفه به اين فيلسوف بزركـــ وامدارند وحقا يس از ابن سينا تا بامروز معلم بزركـــ و بنيانكذار فلسفه وصاحب مكتب بشمار مىرود".
[2] Mulla Sadra, Syarh al-Ushul.,hal.9 Teks asli sebagai berikut :
"قد اندمـجت فيه العلوم التألهية في الحكمة البحثية وتدرعت فيه الحقائق الكشفية بالبيانات التعليمية".
[3] Fayadi, “Falsafeye Masya’ dar Hikmat Muta’’Aliyeh”, Majeleye Ma’rifat, XII, 3 (Bahman (bulan Iran), 1997), hal. 65
[4] Henry Corbin, sebagaiamana yang dikutip Muhammad Khamne’i, Muqaddimah, hal. Dua ratus tujuh puluh tujuh.
[5] Lihat : Mulla Sadra, al-Hikmah al-Muta’āliyyah fi al-Asfar al-Arba’ah ., J. 9 hal. 234 (Selanjutnya disebut : al-Asfar)
[6] Meskipun Mulla Sadra kerap melakukan kritik yang tajam pada kaum sufi, tetapi sufi yang dimaksud adalah sufi-sufi yang hanya menunjukkan bentuk-bentuk ritual (Pseudo-Sufistik), karena dalam memandang Ibn Arabi, Mulla Sadra begitu kagum dan sama sek’Ali tidak didapati kritik langsung kepada Ibn Arabi, bahkan berdasarkan beberapa penggalan-penggalan pernyataannya di dalam kitab Asfar ditemukan bahwa Mulla Sadra meyakini konsep Wahdat al-Wujūd Ibn Arabi. Untuk lebih jelas lihat al-Asfār J. 2,3 dan 7.
[7] Mulla Sadra, al-Masya’ir, (Tehran : Amir Kabir). 1376, hal.3 Teks asli sebagai berikut :
"وهي ليست من المجادلات الكلامية ولا من الفلسفة البحثية المذمومة ولا من التخيلات الصوفية"
[8] Lihat : Mulla Sadra, Muqaddimah., hal. Dua ratus Delapan puluh Satu.
Langganan:
Postingan (Atom)